Guru Besar FH Unila: Independensi Peradilan Militer Kunci Penegakan Keadilan Kasus Penembakan Polisi di Way Kanan

16/06/2025 10:26:13 WIB 44

LAMPUNG – Independensi peradilan militer menjadi ujian penting dalam penanganan kasus penembakan tiga anggota Polri oleh oknum TNI di Way Kanan.

Hal ini disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), Prof. HS Tisnanta, yang menekankan pentingnya keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses hukum yang sedang berlangsung.

Menurut Prof. Tisnanta, tantangan terbesar dalam peradilan militer terletak pada struktur hierarkis dan potensi intervensi dari dalam institusi militer itu sendiri.

Ia menegaskan, meskipun secara normatif Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer telah menjamin independensi hakim militer, implementasinya masih menyisakan ruang pertanyaan, terutama dalam kasus-kasus sensitif seperti ini.

“Kualitas independensi sangat bergantung pada komitmen hakim dan oditur militer untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Publik akan mengamati apakah proses ini berjalan tegas, adil, dan transparan,” ujar Prof. Tisnanta, Minggu (15/6/2025).

Ia menjabarkan bahwa ada tiga indikator utama untuk mengukur independensi peradilan militer dalam kasus ini: objektivitas penyidikan dan penuntutan, keterbukaan persidangan, serta tidak adanya intervensi komando.

Objektivitas penyidikan, lanjutnya, harus mencakup pengumpulan bukti yang cermat, analisis motif, dan penyusunan dakwaan yang tidak ditutupi atau direkayasa. “Pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah ada upaya memperingan tuduhan atau menutup-nutupi fakta,” ujarnya.

Sementara itu, keterbukaan persidangan menjadi aspek krusial mengingat selama ini peradilan militer cenderung tertutup. Ia menilai, akses publik dan media terhadap jalannya sidang, tanpa mengganggu proses peradilan, akan memperkuat akuntabilitas sekaligus menekan potensi intervensi dari pihak luar.

Prof. Tisnanta menyoroti pula pentingnya menghindari intervensi dari atasan militer atau pihak eksekutif. Menurutnya, pernyataan atau tindakan dari petinggi militer yang berpotensi memengaruhi proses hukum harus dihindari untuk menjaga independensi.

“Apabila putusan akhir dirasakan adil oleh publik, prosesnya transparan, dan tidak ada intervensi, maka independensi peradilan militer bisa dikatakan terjaga,” tegasnya.

Dalam konteks pencarian kebenaran materiil, Prof. Tisnanta menyatakan bahwa ini merupakan tujuan utama dari proses peradilan. Fakta-fakta yang utuh, tidak bias, dan tidak direkayasa, harus menjadi dasar setiap putusan hukum.

Ia menambahkan bahwa tekanan struktural dalam militer dan keterbatasan transparansi menjadi tantangan tersendiri, namun bukan tanpa solusi. “Integritas dan profesionalisme dari penyidik, oditur, hingga hakim sangat menentukan,” ujarnya.

Terakhir, Prof. Tisnanta mengusulkan adanya pengawasan eksternal dari lembaga seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atau organisasi masyarakat sipil sebagai penyeimbang dalam proses hukum ini.

“Tanpa keterlibatan pengawasan eksternal, sangat sulit memastikan bahwa peradilan militer benar-benar menegakkan keadilan berdasarkan kebenaran materiil,” pungkasnya.

Kasus penembakan yang melibatkan oknum anggota TNI dan korban dari kepolisian ini menjadi sorotan nasional. Penanganannya akan menjadi cermin sejauh mana institusi militer mampu menjaga integritas hukumnya di mata publik.

Share this post